GuruPAUDPNF, Jakarta – Direktorat Guru PAUD dan PNF sukses menyelenggarakan webinar “Pengelolaan Kelas Inklusi pada Pendidikan Anak Usia Dini” selama dua hari, 11-12 Maret 2025. Kegiatan itu menghadirkan narasumber dari berbagai latar belakang akademis dan praktisi pendidikan yang berbagi pengalaman, serta strategi dalam menerapkan kelas iklusif pada pendidikan anak usia dini.
Direktur Guru PAUD dan PNF, Suparto, dalam sambutannya menekankan bahwa pendidikan inklusi adalah fondasi utama dalam menciptakan ekosistem belajar yang adil dan merata. “Jika ekosistem pendidikan bergerak bersama dan saling mendukung, maka pendidikan berkualitas, inklusif, adil, dan merata dapat terwujud,” ujarnya.
Pendidikan inklusi di Indonesia telah berkembang sejak 2003, dengan lebih dari 36.000 satuan pendidikan yang telah berkomitmen untuk menerapkannya. Namun, implementasi di lapangan masih menghadapi tantangan, seperti keterbatasan pemahaman pendidik PAUD mengenai pendidikan inklusi, minimnya sumber daya manusia yang berkompeten dalam menangani peserta didik berkebutuhan khusus, resistensi orang tua dalam menerima konsep pendidikan inklusif, stigma negatif masyarakat terhadap satuan pendidikan inklusi, dan kesadaran masyarakat yang masih rendah akan pentingnya pendidikan inklusi.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, Direktorat Guru PAUD dan PNF telah menyelenggarakan program pengembangan kompetensi non-gelar bagi pendidik PAUD melalui program “Microcredential” pada tahun 2024. Program tersebut bertujuan untuk meningkatkan kapasitas guru dalam mengelola kelas inklusi secara efektif.
Kepala TK Pengudi Luhur Yogyakarta, Anastasia Arum Sari Dyahningtyas, menjelaskan lima prinsip utama dalam menciptakan kelas inklusif yang dikenal sebagai LIPKES:
- Lingkungan Kelas: Pengaturan ruang yang ramah bagi anak, memastikan kebebasan bergerak tanpa hambatan.
- Inklusi Sosial: Penyediaan sumber belajar yang mencerminkan keberagaman budaya, agama, dan kebiasaan.
- Pengembangan Profesional: Pemanfaatan komunitas belajar guru untuk meningkatkan kompetensi dalam mengelola kelas inklusi.
- Keterlibatan Keluarga: Membuka komunikasi antara pendidik dan orang tua melalui berbagai media, seperti media sosial, cetak, dan forum diskusi.
- Strategi Pengajaran: Metode pembelajaran yang fleksibel dan adaptif untuk memenuhi kebutuhan peserta didik yang beragam.
Adapun Kepala TK ABA Ceporan, Karanganyar, Wulansari Nurul Amanah, membagikan praktik baik dalam menerapkan pendidikan inklusi di satuan PAUD-nya. “Pembelajaran harus dimulai dengan permainan seru. Misalnya, mengundang agar anak-anak tertarik lalu mood-nya menjadi bagus, membuat anak mau mengikuti kegiatan berikutnya,” ujarnya.
Istimewanya lagi, kata Nurul, sekolahnya telah melibatkan peran orang tua berupa piket sukarelawan, yaitu satu orang tua yang menjadi pendamping guru di tiap kelas setiap harinya. “Sukarelawan itu membantu mengusahakan kelas untuk tetap aman dan lancar,” tambahnya.
Sedangkan Guru TKN 4 Seteluk, Sumbawa Barat, Za’idatul Uyun Akrami, membagikan praktik baiknya menggunakan pendekatan “Universal Design for Learning”, menerapkan metode “Konseptual Play Wolrd,” yakni anak-anak bebas memilih peran dalam pembelajaran dan mendorong mereka untuk berpartisipasi aktif dengan metode voting dan diskusi.
Selain itu, Kepala TK Al Fadhilah Tarogong Kidul Garu, Novi Andriyati, juga membagikan praktik baiknya dengan melakukan asesmen awal dengan orang tua untuk memahami kebiasaan dan kondisi anak. Sementara Koordinator TK Bali Public School, Denpasar, Ni Komang Okayati, menyebutkan bahwa di lembaganya menerima siswa dari berbagai latar belakang budaya dan kewarganegaraan. “Di Bali itu multikultural, dimana lembaga di tempat saya bertugas pun kami menerima peserta didik dari beragam latar budaya, suku, agama, dan beragam kewarganegaraan, baik warga negara Indonesia maupun mancanegara. Itu merupakan salah satu bentuk pendidikan inklusif yang telah kami lalukan,” terangnya.
Sementara itu Ketua Tim Kerja Pembelajaran, Penghargaan dan Kesejahteraan, Komarudin, menyoroti peran penting kolaborasi antara guru, orang tua, dan komunitas dalam menciptakan pendidikan inklusif. “Pendidikan inklusi hanya bisa berhasil jika ada dukungan dari seluruh elemen masyarakat, termasuk keluarga,” jelasnya.
Dalam sesi penutupan, Hani Yulindrasari dari Universitas Pendidikan Indonesia turut menegaskan bahwa pendidikan adalah hak semua anak, tanpa terkecuali. Hani pun berharap peserta webinar dapat menerapkan konsep inklusi di masing-masing satuan PAUD. “Perbedaan bukan hambatan, melainkan kekayaan yang harus kita rangkul dalam pendidikan,” ujarnya.
Webinar yang disambut dengan antusias dari banyaknya peserta tersebut telah memberikan wawasan mendalam tentang pengelolaan kelas inklusi, serta menjadi langkah awal bagi para pendidik dalam membangun lingkungan belajar yang ramah bagi semua anak, tanpa diskriminasi. (Rika Jayanti).